Oleh : Abdus Sair (Dosen Sosiologi FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya)
Menjelang Hari Raya Idul Fitri tahun 2024, jalanan di seluruh tanah air akan dipadati oleh para pemudik yang kembali ke kampung halaman, sebuah tradisi sosial yang telah mengakar dalam budaya Indonesia selama puluhan tahun. Tradisi ini dikenal dengan istilah "mudik" dan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas kita karena rutin dilakukan setiap tahun.
Tak hanya di Indonesia, tradisi semacam ini juga ditemui di berbagai negara, seperti Amerika. Meskipun dengan istilah yang berbeda, seperti "Thanksgiving Day" yang merupakan momen besar bagi masyarakat Amerika dari berbagai agama seperti Kristen, Yahudi, Muslim, dan Budha untuk merayakan rasa syukur.
Namun, yang membedakan adalah skala pemudikannya. Di Indonesia, jumlah pemudik jauh lebih besar, mencapai jutaan orang setiap tahun. Mereka menggunakan beragam moda transportasi mulai dari sepeda motor, mobil pribadi, bus, kereta api, pesawat, hingga kapal laut untuk pulang ke kampung halaman secara bersamaan
Untuk tahun ini, perkiraan jumlah pemudik meningkat 50 persen menjadi 193 juta orang, melonjak dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 120 juta orang. Lonjakan jumlah yang signifikan ini menjadikan tradisi mudik di Indonesia sebagai sebuah gerakan sosial yang memiliki dampak yang luar biasa.
Dari segi ekonomi, dampak dari tradisi mudik ini terlihat dari peningkatan permintaan akan jasa transportasi. Hampir semua perusahaan transportasi harus menambah armada mereka untuk menghadapi arus mudik menjelang Idul Fitri. Baik itu perusahaan bus, kereta api, kapal laut, pesawat, maupun travel.
Dampaknya tidak hanya terbatas pada sektor transportasi, namun juga mencakup sektor-sektor lain seperti kebutuhan bahan bakar, makanan, komunikasi, dan perlengkapan lainnya. Total uang yang beredar selama periode ini bisa mencapai puluhan miliar rupiah.
Dampak luar biasa ini juga mendorong pemerintah untuk mempersiapkan infrastruktur transportasi yang memadai. Mulai dari jalan Tol, perbaikan jalan di jalur pantura, peningkatan penerangan, hingga peningkatan keamanan. Bahkan, pemasangan CCTV dan drone di beberapa titik menjadi langkah penting untuk memantau kepadatan lalu lintas.
Semua dampak ini mencerminkan dinamika sosial yang terjadi dalam masyarakat setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi mudik bukan sekadar sebuah kebiasaan, tetapi juga memiliki makna sosial yang mendalam. Makna ini terlihat dari kesungguhan masyarakat dalam menjalankan tradisi ini meskipun harus melewati berbagai kesulitan seperti kemacetan dan berdesak-desakan.
Makna Mudik
Bila dilihat lebih dalam, tradisi mudik sebenarnya mengandung semangat religiusitas yang mendorong orang untuk melakukannya. Tradisi ini menjadi simbol silaturrahmi dengan keluarga dan tetangga setelah terpisah dalam waktu yang lama. Pertemuan ini sering kali membangkitkan nostalgia akan masa lalu yang penuh keceriaan dan kebersamaan.
Mudik juga berfungsi sebagai jembatan sosial yang menghubungkan masyarakat dengan akar budaya mereka, terutama saat sebelum dan sesudah Hari Raya ketika kesibukan duniawi seringkali membuat mereka lupa akan pentingnya silaturrahmi.
Sebagai sarana jembatan sosial, mudik sebenarnya telah meredam batasan-batasan sosial antara kota dan desa, serta antara golongan ekonomi yang berbeda. Ini memungkinkan berbagai kelompok untuk bersatu dan merasakan kebahagiaan bersama.
Masyarakat rela menjalankan tradisi ini karena di dalamnya terdapat energi positif yang membangkitkan hubungan emosional dengan keluarga, serta menguatkan kembali ikatan dengan akar budaya mereka. Hal ini sejalan dengan konsep solidaritas organik yang dijelaskan oleh Durkheim, di mana mudik menjadi cara untuk menjaga dan memperkuat solidaritas tersebut.
Dengan adanya tradisi mudik, masyarakat dapat menemukan kebahagiaan dan kepuasan dalam merawat hubungan emosional dengan keluarga serta menjaga ikatan dengan akar budaya dan leluhur mereka.
Dari sini, dapat disimpulkan bahwa gerakan pulang kampung (mudik) telah menjadi ruang sosial yang berharga bagi kita. Tidak hanya karena memperkuat nilai-nilai solidaritas organik, tetapi juga karena mempertahankan kebiasaan sosial yang diwariskan oleh nenek moyang kita.
Kita setuju bahwa tradisi mudik ini sudah merasuk kuat dalam kehidupan masyarakat di daerah perantauan. Ini terbukti dari kenyataan bahwa meskipun seseorang telah mencapai kesuksesan materi, tetapi kampung halaman tetap memiliki arti yang sangat penting. Kondisi ini sejalan dengan ungkapan yang menyatakan bahwa "seberapa jauh pun seseorang berkelana, dia akan selalu merindukan kampung halaman."