OLEH : UMAR SHOLAHUDIN, Dosen Sosiologi Politik FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
SALAH satu pembeda antara pemerintahan demokratis dan antidemokrasi adalah adanya kekuatan oposisi sebagai penyeimbang pemerintah yang berkuasa. Jika pemerintahan demokratis minus kekuatan oposisi, bisa berpotensi akan terjerembap dalam kubangan watak otoritarianisme.
Hasil quick count enam lembaga survei, yakni Lembaga Survei Indonesia (LSI), Litbang Kompas, Politika Research and Consulting (PRC), ?Charta Politika Indonesia, Voxpol Center Research & Consulting, dan Poltracking Indonesia, menempatkan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di urutan pertama dengan perolehan suara 57,46–59,36%.
Disusul urutan kedua Paslon Anis Rasyid Baswedan–Muhaimin Iskandar 25,08–26,11%, dan Ganjar Pranowo-M. Mahfud MD sebesar 15–16% dari suara yang masuk sebesar 78,3%–98,4% pada 15 Februari 2024 dengan margin of error sebesar 1–2%. Seperti hitung cepat pada pilpres sebelumnya, hitung cepat diprediksi tidak akan jauh berbeda dengan real account (hitung nyata) dari KPU. Dengan demikian, pilpres diprediksi akan satu putaran dengan pemenang Prabowo-Gibran.
Usai rilis hasil hitung cepat itu, muncul dua wacana tentang koalisi dan oposisi. Lazim dalam sistem pemerintahan presidensial, pemenang pilpres akan membentuk pemerintahan baru bersama partai-partai koalisinya. Sedangkan yang kalah akan menjadi kekuatan penyeimbang atau oposisi. Meskipun oposisi tidak dikenal dalam sistem politik kita, kekuatan pengontrol sebagai check and balance harus ada untuk terus menyehatkan kehidupan demokrasi kita.
Formasi Kekuatan Parlemen
Jumlah kursi di parlemen sebanyak 575. Jika mengacu pada jumlah kursi di parlemen saat ini (hasil Pemilu 2019), koalisi parpol pengusung Prabowo-Gibran; Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat, hanya memiliki modal politik sebesar 45,5%. Di luar itu ada PDIP, PPP, Nasdem, PKB, dan PKS sebanyak 55,5%. Jika kita lihat hasil hitung cepat (quick account) beberapa lembaga survei, formasi perolehan suara di antara partai-partai mapan (9 parpol) diprediksi akan lolos parlemen. Jika skenario ini terjadi, partai koalisi pemerintah setidaknya menguasai 45–50% kursi parlemen. Sedangkan partai oposisi memiliki 50–55% kursi parlemen. Jadi, koalisi pengusung Prabowo-Gibran masih lemah dan membutuhkan 2–3 partai untuk memperkuat koalisi di parlemen.
Kita berharap partai yang kalah dalam Pilpres 20224 ini bisa memosisikan dirinya sebagai partai oposisi. Terkait dengan ini, ada kabar baik; PDIP melalui Sekjennya, Hasto Kristiyanto, mengatakan sebagai pemenang Pemilu 2024, partainya berencana akan memosisikan diri sebagai partai oposisi. Semoga langkah politik ini juga diikuti oleh partai-partai lainnya yang kalah dalam Pilpres 2024 ini. Kita tidak berharap apa yang terjadi di pemerintahan Jokowi saat ini terjadi di pemerintahan baru nanti (surplus koalisi, defisit oposisi). Sebab, itu berpotensi besar terhadap hadirnya pemerintahan otoritarianisme.
Dengan modal dukungan parlemen yang sangat besar, Jokowi-Makruf berhasil membuat dan mengeksekusi kebijakan-kebijakan ’’semau gue”. Inilah yang sangat dikhawatirkan oleh kelompok prodemokrasi. Pemerintahan ’’Orde Baru” akan lahir dengan wajah baru. Dan dampaknya lanjutannya, ini sangat berbahaya dan mengancam kehidupan demokrasi Indonesia.
Bangun Oposisi Alternatif
Kekuatan oposisi merupakan salah satu pilar demokrasi yang memiliki peran sangat strategis. Di samping sebagai kekuatan pengimbang dan pengontrol, juga memiliki peran dalam upaya memberdayakan dan mendidik secara politik potensi masyarakat. Praktik depolitisasi dan deparpolisasi yang berlangsung selama 32 tahun yang dijalankan Orde Baru telah menjadikan rakyat tidak berdaya secara intelektual (baca: kritis) dan politik serta demokrasi tak bisa berkembang dengan baik dan sehat.
Kekuatan rakyat hanya dimanfaatkan dan dipermainkan oleh rezim berkuasa untuk memproduksi dan mempertahankan kekuasaannya. Ini yang kemudian memunculkan performance pemerintahan yang otoriter dan sentralistik. Sebaliknya pada saat yang sama, terjadi penguburan demokrasi.
Ketika negara tidak ada kekuatan kontrol (baca: oposisi), negara akan semakin kuat. Sejarah Orde Baru kiranya bisa dijadikan sebagai pelajaran. Ketiadaan oposisi menjadikan penguasa menjadi kuat, kekuasaan semakin mengerucut pada satu orang atau sekelompok elite.
Dengan sikap dan peran oposisi partai yang kalah dalam pilpres (pengusung Amin dan Ganjar-Mahfud), setidaknya bisa menyelamatkan bangsa ini jatuh pada jurang demokrasi yang lebih dalam. Dalam konteks ini, langkah politik PDIP atau partai yang kalah dalam pilpres sangat elegan dan lebih bermartabat untuk beroposisi daripada berkoalisi. Dengan prediksi jumlah kursi PDIP atau partai yang kalah dalam pilpres di parlemen secara kuantitas cukup kuat untuk menjadi oposisi di parlemen; untuk mengontrol kekuasaan presiden dan jalannya pemerintahan lima tahun ke depan.
Untuk memperkuat oposisi di parlemen, perlu dibangun dan dikembangkan juga kekuatan oposisi alternatif; oposisi ekstraparlementer, yakni kekuatan yang berasal dari masyarakat (civil siciety) yang memiliki komitmen demokrasi dan secara konsisten mengontrol dan mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah secara objektif. Dengan kemampuan intelektualitas dan dukungan masyarakat yang luas, kelompok ini akan menjadi kekuatan oposisi alternatif yang kritis dan konstruktif.
Kita berharap dengan adanya kekuatan oposisi yang kritis dan konstruktif, kehidupan demokrasi akan berjalan lebih sehat. Langkah oposisi ini dinilai akan memberikan kontribusi positif bagi pengembangan dan pematangan demokrasi Indonesia ke depan. Kekhawatiran munculnya wajah pemerintahan otoritarianisme gaya baru pun akan dapat dihindari.
Sumber : https://www.jawapos.com/properti/014199531/membangun-oposisi-pascapilpres?page=2