Oleh : Galang Geraldy (Dosen Ilmu Politik FISIP UWKS & Mahasiswa S3 Ilmu-Ilmu Sosial Unair)
Menjelang hari pencoblosan pemilu 2024, konstelasi politik semakin dinamis dengan munculnya serangkaian aksi pernyataan oleh sejumlah kelompok akademisi dari berbagai universitas yang mengkritik pemerintahan Joko Widodo. Kritik tersebut berangkat dari isu utama menyangkut netralitas penyelenggara negara dalam kontestasi elektoral, yang dimulai dengan ‘tragedi konstitusional’ di Mahkamah Konstitusi (MK). Tragedi yang meloloskan putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi cawapres Prabowo Subianto melalui putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023, pada Pasal 169 huruf q itu telah dimaknai atau ditambahkan normanya oleh MK bahwa "berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah" (https://www.mkri.id), yang kemudian meloloskan Gibran dalam kandidasi pilpres adalah bentuk relasi politik dinasti di dalam ruang konstitusi. Putusan yang akan selalu menjadi sejarah kelam bagaimana MK masuk dalam pusaran konflik kepentingan nepotisme kekerabatan antara Anwar Usman (Ketua MK) dengan Gibran, keponakannya.
Kemudian, yang bisa dikatakan menjadi klilmaks ketika pernyataan Jokowi yang secara terbuka bahwa presiden dan menteri boleh berpihak dan berkampanye untuk salah satu paslon. Pernyataan di sampaikan ketika menjawab wartawan yang berada di Lanud Halim Perdanakusuma bersama Prabowo Subianto (Kompas,2024). Pernyataan tesebut tentunya memantik perdebatan di ruang publik, ketika kita semua masih ingat bagaimana Jokowi sendiri yang menegaskan seluruh penyelenggara negara harus netral di bulan sebelumnya. Jokowi kemudian mengklarifikasi secara tegas menggunakan UU Pemilu Nomor 7 tahun 2017 pasal 299 tentang hak kampanye presiden dan wapres. Secara teks eksplisit hak itu diatur, namun perlu juga diperhatikan bahwa konteks pasal itu adalah untuk petahana yang akan ikut kontestasi selanjutnya, bukan presiden yang telah habis masa tugasnya seperti situasi saat ini. Selain itu, keterlibatan sebagai tim kampanye tentunya harus terdaftar secara resmi di KPU sebelum masa kampanye dimulai. Lalu, Pasal 281 mengenai ketentuan kampanye oleh presiden dan wapres yang tidak boleh menggunakan fasilitas negara kecuali pengamanan dan harus cuti. Ini juga memantik perdebatan, ketika presiden mengajukan cuti maka tugas-tugas penyelenggaraan negara tertinggi akan berpotensi mengalami goncangan.
Ketika presiden dan wapres mengajukan hak kampanye atau terindikasi kuat mendukung salah satu paslon, maka persoalannya tentu tidak semudah apa yang disampaikan Jokowi melalui kedua pasal tersebut. Melalui UU Pemilu juga, Jokowi harus juga lebih bijak ketika memahami ada Pasal 281 bahwa pejabat negara, struktural dan fungsional tidak boleh membuat keputusan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye. Lalu Pasal 283 yang menegaskan pejabat negara serta ASN dilarang melakukan kegiatan mengarah keberpihakan kepada peserta pemilu selama masa kampanye.
Di dalam situasi politik ini, tentu publik masih ingat pernyataan Jokowi di dalam menanggapi debat Pilpres Kedua, yang mendiskeditkan salah satu paslon, lantas secara bersamaan Jokowi kerap tampil bersama Prabowo di ruang publik. Belum usai perdebatan, Jokowi melakukan kebijakan afirmatif melalui pemberian bantuan sosial BLT berjumlah Rp 11,25 triliun yang dialokasikan sebesar Rp 200.000/keluarga setiap bulannya untuk Januari, Februari, dan Maret, dengan jumlah keseluruhan Rp 600.000, disalurkan dalam satu kali pembayaran di bulan Februari. Alokasi dan distribusi bansos yang terus meningkat terutama menjelang pemilu sarat dengan kepentingan politis, yang kemudian menyeret beberapa aktor utama mulai menteri sampai presiden untuk menggunakan simbolisasi bansos sebagai modal elektoral. Indikasi itu sangat mudah terbaca, ketika menteri dan caleg sekalipun yang tergabung dalam gerbong koalisi Prabowo - Girbran menggunakan narasi bansos sebagai daya tarik elektoral.
Suasana itu diperkeruh dengan semakin terang keberpihakan beberapa menteri, lalu hadir di dalam kampanye paslon serta di lain hal mulai ketidakhadiran menteri-menteri tertentu yang sejatinya inheren dengan tupoksi dan kebijakan presiden ketika turun ke masyaraat. Jika situasi ini yang memang dikehendaki presiden, maka menciderai etis dan moralitas demokrasi itu sendiri, alih-alih etika kenegarawanan.
Kritik Demokrasi
Jika kemudian mengevaluasi secara utuh kritik demokrasi ditopang dari kondisi pembangunan yang sangat massif melalui industrialisasi dan investasi asing tidak dibarengi dengan deliberasi masyarakat akar rumput dan krisis ekologi. Pembangunan yang dibalut melaui Proyek Strategis Nasional dan berbagai pembangunan infra struktur lainnya meminggirkan hak-hak rakyat. Mengutip catatan dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) terdapat 73 konflik agraria sepanjang tahun 2015 - 2023. Kasus perebutan lahan yang mempertautkan relasi kuasa negara, pasar dan masyarakat terjadi di beberapa daerah seperti pembangunan sirkuit Mandalika Nusa Tenggara Barat (NTB), Bendungan Bulango Ulu Gorontalo, pembangunan tol Padang-Pekanbaru, penambangan Wadas untuk Bendungan Bener, proyek Movieland MNC Lido City Sukabumi, proyek lumbung pangan atau food estate di Sumatera Utara, pembangunan Bolaang Mongondow di Sulawesi Utara. Pembangunan Waduk Sepaku Semoi yang jadi infrastruktur penunjang ibu kota negara di Kalimantan Timur, pembangunan bandara dan kilang minyak di Air Bangis Sumatera Barat, proyek tambang pasir Royal Boskalis, serta pengadaan tanah bagi infrastruktur penunjang Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Pulau Komodo dengan menggusur Hutan Bowosie oleh badan otorita Labuan Bajo, bentrokan pecah di Pulau Rempang, Batam, usai warga menolak relokasi untuk pembangunan kawasan Rempang Eco-City dan lain-lain (Kompas, 2023).
Berangkat dari itu, kelompok akademisi dari puluhan kampus kemudian secara estafet menyikapi secara terbuka melalui petisi yang menggugah etika demokrasi presiden. Hal ini menafsirkan bahwa apa yang dilakukan penyelenggara negara, terutama didalam sistem presidensiil, bahwa presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan memiliki tanggung jawab terhadap demokratisasi. Etika demokrasi harus dijunjung sebagai manifestasi perjuangan reformasi yang belum berhenti. Presiden harus diingatkan dan didukung untuk menempatkan kekuasaanya sebagai pimpinan politik tertinggi di negeri ini dengan nilai dan etika demokrasi yaitu memberikan ruang deliberasi seluruh lapisan masyarakat dalam partisipasi aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak ada tekanan terhadap narasi-narasi alternatif, serta tidak mengintervensi proses penyelenggaraan pemilu agar berjalan secara adil, terbuka dan menjunjung kesetaraan berdasarkan naluriah serta nalar kritis publik.
Mengacu pada TAP MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara bahwa setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap mundur dari jabatan politik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Etika ini harus diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya. Dari semua itu, semoga di momentum elektoral nanti tanggal 14 Februari 2024, seluruh elit politik, terutama Presiden Joko Widodo kembali kepada nilai dan etika sebagai negarawanan, menempatkan nilai dan prinsip yang demokratis dengan memberi ruang dialektika publik yang sehat dan konstruktif, semata-semata melampaui politisi yang hanya mengejar, mempertahankan dan mengkapitalisasi kekuasaan.